Kemudian huruf jar ba’ dalam kalimat bi-halal bisa berarti atau menunjukkan saling menukar atau saling mengganti (mu’awadhah).
Artinya, kalimat halal bihalal dapat mengandung pengertian menukar yang halal (kebaikan) dengan yang halal juga (kebaikan) yang diwujudkan dengan kesungguhan saling bermaaf-maafan.
Selanjutnya dalam pendekatan yang lain, kata halal dalam susunan halal bihalal, kalimat halal bisa menjadi mubtada’ dengan sarat ditambahi al biar yang semula kata halal statusnya nakirah menjadi makrifat, mengingat mubtada’ itu harus berupa isim makrifat. Maka susunan yang benar menjadi :
الحلال بحلال
Alhalalu bihalalin. Tidak tepat jika disusun halal bihalal dengan bentuk nakirah.
Karena secara kaidah ilmu nahwu belum terpenuhi sarat mubtada’ berupa isim nakirah. Dalam kitab Alfiyah Ibnu Malik bab mubtada’ dan khobar disebutkan :
وَلاَ يَجُوْزُ الابْتِدَا بِالْنَّكِرَهْ # مَا لَمْ تُفِدْ كَعِنْدَ زَيْدٍ نَمِرَهْ
“Tidak boleh menggunakan mubtada’ dengan isim Nakirah selama itu tidak ada faidah”.
Baca Juga: Spektakuler! Konsumsi Daun Bawang Terbukti Efektif Mengatasi Penyakit, Ada yang Mau Coba..