Kisah Sejarah Adisara, Perempuan Panglima Perang yang Menyingkir ke Gunung Santri

5 Maret 2024, 13:15 WIB
Kisah Sejarah Adisara, Perempuan Panglima Perang yang Menyingkir ke Gunung Santri /


BANJARNEGARAKU.COM - Ada seorang perempuan perkasa, permaisuri raja Agung Binatara, maju ke medan laga, berjaya sebagai panglima demi keagungan negeri, rela menyingkir ke Gunung Santri menanamkan kisah sejarah panembahan Adisara, menjadi tutur tinular sampai generasi kini.

Pada kesempatan ini, banjarnegaraku.com akan menyajikan kisah sejarah dari Desa Glempang, Kecamatan Mandiraja, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah. Yakni kisah sejarah panembahan Adisara Gunung Santri, merupakan petilasan Sunan Kalijaga dan makam permaisuri Panembahan Senopati. 

Silahkan disimak, begini kisah selengkapnya mengenai kisah sejarah adisara, perempuan panglima perang yang menyingkir ke gunung santri.

Baca Juga: Legenda Desa Berta Susukan Banjarnegara, Dijelaskan Den Juneng Suhu Padepokan Carang Seket

Tahun 1576 Masehi. Setelah kerajaan Pajang runtuh dengan wafatnya Sultan Hadiwijaya Jaka Tingkir. Panembahan Senopati putra Ki Ageng Pamanahan, dinobatkan sebagai raja keraton Mataram. Ia berambisi menjadi penguasa tunggal tanah Jawa. Hal itu menimbulkan perlawanan dari Negeri Pati.

Kanjeng Sunan Kalijaga, segera turun tangan. Menasihati Ki Ageng Penjawi dan Ki Ageng Pamanahan. Untuk bersatu hidup rukun kembali. 

Kisah Sejarah Adisara, Perempuan Panglima Perang yang Menyingkir ke Gunung Santri

Sunan Kalijaga berkata:

Cucuku, Panjawi dan Pamanahan. Kalian berdua satu darah, satu keluarga, sehidup seperjuangan. Janganlah bermusuhan. Ingat sejarah silam. Bahwa tanah Pati dan Mataram adalah hadiah Sultan Pajang. Menjadi dua wilayah yang setara kedudukannya. Sekali lagi hidup rukunlah. Ingsun berpesan, nikahkanlah Waskita Jawi dengan Senopati. Kelak darah keturunan Pati berhak mewarisi tahta Mataram Juga.

Atas nasihat Sunan kalijaga, Ki Ageng Penjawi menikahkan putri sulungnya, Waskita Jawi, dengan Panembahan Senopati. Waskita Jawi sebagai permaisuri bergelar Kanjeng Ratu Mas Pati. Hubungan antara Pati dengan Mataram kembali membaik. 

Namun, masih di tahun 1576 Masehi. Ki Ageng Penjawi menyerahkan Negeri Pati kepada putranya bernama Adipati Jayakusuma. Ia kemudian meninggalkan negeri Pati, mengikuti perjalanan Sunan Kalijaga. Hingga tiba di daerah bernama Gunung Santri.

Sunan Kalijaga membangun pesanggrahan di Gunung Santri, menetap beberapa waktu untuk menyebarkan ajaran agama. Beliau dikenal dengan nama Syeh Abdurrohman.

Adapun Ki Ageng Penjawi berdiam di daerah Kedunglumbu. Penduduk mengenalnya dengan nama Ki Kedunglumbu.

Gunung Santri dan Kedunglumbu dibatasi aliran sungai Sapi. Gunung Santri di selatan, Kedunglumbu di utara sungai.

Waskita Jawi dan adiknya, kerap pula mengunjungi pesanggrahan ayahnya dan Sunan Kalijaga. 

Ki Ageng Penjawi wafat dan disemayamkan di Kedunglumbu. Sekarang berada di desa Kebanaran, Mandiraja, Banjarnegara.

Baca Juga: Mengenal Sejarah Desa Pagak Banjarnegara, Jejak Kayu Jati dalam Penamaan Desa Pagak

Selanjutnya kisah beralih ke keraton Mataram. Ketika itu, Panembahan Senopati sedang bersiap menaklukkan Negeri Madiun.

Di hadapan balatentara perang Mataram, Panembahan Senopati berseru:

WAHAI seluruh prajurit dan kawula Mataram. Hari ini kita menuju Jawa Timur. Kita taklukkan Negeri Madiun. Hari ini, kanjeng Ratu Mas Pati, ingsun angkat sebagai panglima perang Mataram, dengan nama sebutan NYI ADISARA. Apakah kalian siap, mengibarkan panji kemenangan, untuk kejayaan Mataram?!

SIAAAP!

PASUKAAAN.. LAJUUU!

Sorak sorai gemuruh genderang perang membumbung langit mengiringi perjalanan pasukan Mataram menuju Madiun. Nyi Adisara memimpin pasukan Mataram menggempur Madiun. Sampai akhirnya, Madiun berhasil ditaklukkan. Tercatat dalam sejarah, peristiwa itu terjadi pada tahun 1590 Masehi.

Panembahan Senopati memboyong putri Madiun bernama Retno Dumilah sebagai permaisurinya.

Baca Juga: Mengungkap Misteri Legenda Desa Dawuhan Wanayasa: Jejak Sejarah dari Abad 18

Rupanya pernikahan Panembahan Senopati dengan Retno Dumilah menimbulkan perasaan kecewa pihak keluarga Pati. Adipati Jayakusuma khawatir, jika keturunan kakaknya bakal tersingkir, tidak mewarisi tahta Mataram.

Kembali terjadi perselisihan berujung pecah perang antara Pati dengan Mataram. Adipati Jayakusuma gugur.

Nyi Adisara berduka. Adik kandungnya gugur perang lawan suaminya sendiri. Nyi Adisara juga merasa tersisih, karena kini di keraton Mataram ada permaisuri baru, yaitu Retno Dumilah.

Pada akhirnya, Nyi Adisara memutuskan untuk meninggalkan keraton Mataram, menemui Sunan Kalijaga di Gunung Santri. Nyi Adisara mendalami ilmu agama kepada Sunan Kalijaga.

Penduduk Gunung Santri dan sekitarnya merasa bahagia, kembali bertemu dengan Nyi Adisara. Mereka berharap, Nyi Adisara berkenan tinggal lebih lama di Gunung Santri.

Melihat kecintaan para penduduk serta ingin selalu dekat dengan makam ayahnya, Nyi Adisara memutuskan tinggal di Gunung Santri, tidak kembali ke keraton.

Tibalah waktu Sunan Kalijaga meninggalkan Gunung Santri menuju Kadilangu Demak. Beberapa waktu kemudian, Nyi Adisara wafat dan dimakamkan di Gunung Santri.

Baca Juga: Dari Igirmranak: Jangan Mengaku Pecinta Alam Kalau Tidak Tahu Beda Konservasi dan Reboisasi

Demikianlah, kisah akhir Nyi Adisara. Permaisuri raja Mataram, panglima perang yang terpaksa meninggalkan keraton, berkorban demi kejayaan Mataram.

Waktu demi waktu berlalu. Di masa kemudian dan sampai sekarang, tempat bersemayamnya Nyi Adisara dikenal sebagai PANEMBAHAN ADISARA. Panembahan Adisara Gunung Santri juga dikenal sebagai Petilasan Sunan Kalijaga. Disebut petilasan karena Gunung Santri pernah disinggahi dan ditempati Sunan Kalijaga.

Kini Panembahan Adisara Gunung Santri berada di desa Glempang, Kecamatan Mandiraja, Kabupaten Banjarnegara. Secara turun temurun dijaga oleh Juru Kunci keturunan Nyi Adisara. Pada setiap bulan besar Islam, penduduk mengadakan selamatan dan doa bersama, mendoakan Sunan Kalijaga dan Nyi Adisara serta para leluhur. Sebagai wujud syukur mengenang jasa dan perjuangan para leluhur.

Demikianlah kisah sejarah dari Panembahan Adisara Gunung Santri. Sebagai generasi Abad Digital, kita harus lebih mengenal dan menjaga nilai-nilai sejarah di tempat kita masing masing. Terimakasih.***

Artikel ini disusun oleh: Siwi Sang (Sudarpono) penulis buku sejarah Girindra Pararaja Tumapel - Majapahit.

Merujuk sumber cerita dari Juru Kunci Adisara dan beberapa sumber lain yang disadur ulang sebagai naskah cerita sejarah.

Editor: Dimas D. Pradikta

Tags

Terkini

Terpopuler