BANJARNEGARAKU.COM - Ini tanggapan yang bernada pesimistis dan penuh kesedihan serta empati terhadap nasib sopir, pekerjaan yang dianggap sebelah mata oleh sebagian masyarakat. Dalam berbagai kasus kecelakaan yang melibatkan kendaraan angkutan penumpang maupun barang (bus, minibus, dan truk) nasib sopir sangat mengenaskan.
Sebagaimana kecelakaan truk Nopol AB 8673 QK yang mengangkut 13 penumpang. Perinciannya, 4 meninggal dunia, 8 luka-luka, dan 1 selamat. Mereka adalah para buruh tebang dan buruh angkut tebu yang akan bekerja di sebuah lahan di wilayah DIY.
Adalah Djoko Setijowarno, Wakil Ketua Pemeberdayaan dan Penguatan Wilayah Masyarakat Transportrasi Indonesia (MTI) Pusat yang demikian galau terhadap nasib para sopir di Indonesia. Kalau masih belum ada penghargaan yang baik terhadap pekerjaan sopir atau pengemudi, maka ke depan tak banyak masyarakat Indonesia yang mau menjadi atau bekerja sebagai sopir atau pengemudi.
"Banyak sekali kecelakaan yang melibatkan angkutan umum untuk manusia maupun barang yang endingnya tidak ada yang enak bagi sopir. Dalam insiden kecelakaan, sopir masih hidup akan jadi tersangka, jika mati keluarga merana," katanya sedih.
Lebih jauh Djoko Setijowarno yang juga akademisi Prodi Teknik Sipil Unika Soegijapranata Semarang menegaskan bahwa angkutan barang truk, tidak boleh digunakan untuk mengakut orang atau manusia. Kecuali di kondisi tertentu. Misalnya bencana alam, mengangkut petrsonel TNI atau Polri ke tempat tertentu.
"Dalam hal ini, polisi harus berani menindak pengusaha truk dan pengerah tenaga kerja, jangan hanya berani menindak ke sopir. Pengusaha harus bertanggung jawab. Baik pemilik truk maupun pengerah tenaga kerja itu. Apalagi 80 persen tidak KIR (KEUR). Selama ini polisi tak pernah melakukan tilang pada truk-truk itu."
Mengenai kecelakaan truk di tanjakan Ketileng, Banjarnegara, Djoko Setijowarno menambahkan bahwa di ruas jalan provinsi itu berkelok-kelok naik turun. Sopirseharusnya tahu kondisi jalan seperti apa. Termasuk truknya juga apakah kondisinya prima?