Abduh Hisyam : Meneladani Kanjeng Nabi Muhammad Secara Kaffah

- 28 September 2023, 23:26 WIB
Abduh Hisyam : Meneladani Kanjeng Nabi Muhammad Secara Kaffah
Abduh Hisyam : Meneladani Kanjeng Nabi Muhammad Secara Kaffah /Teguh S

BANJARNEGARAKU.COM - Kalender Hijriah memasuki bulan Rabiul Awal atau dikenal juga dengan bulan Maulid atau bulan Maulud.

Pada bulan ini terdapat peringatan maulid nabi yakni pada tanggal 12 Rabiul Awal. Hari itu merupakan hari lahir Nabi Muhammad SAW.

Memperingati maulid Nabi sejatinya bukan hanya menjadi acara rutin tiap tahun saja, tapi bagaimana sebagai umat Rasulullah SAW kita bisa mengambil teladan, contoh sikap dan perbuatan Rasulullah SAW dari segala aspek kehidupan.

Berikut, meneladani Kanjeng Nabi Muhammad SAW secara kaffah yang disampaikan oleh KH. Abduh Hisyam, S.Ag.

Baca Juga: Puasa adalah Ibadah Rahasia, Berikut Nilai Berpuasa Dijelaskan oleh Drs Akhmad Kifni

1. Mentauladani Nabi Muhammad SAW

Dalam Mentauladani Nabi Muhammad SAW tertuang dalam QS : Al-Ahzab 21.
Artinya "Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat dan yang banyak mengingat Allah".

2. Penggunaan metode dalam pelaksanaan kehidupan sehari-hari

Pendekatan (al-muqarabat) adalah pandangan teoritis yang menjadi pintu masuk untuk melakukan kajian terhadap masalah yang dibahas.

Pandangan teoritis ini diambil dari sistem epistemologi keilmuan yang berkembang dalam sejarah peradaban Islam, meliputi: bayani, burhani, dan irfani.

Bayani

Baca Juga: Pengajian Drs Ahmad Kifni, Ada Delapan Hikmah Meyakini Allah SWT

Epistemologi bayani adalah sistem pengetahuan Islam yang bertitik tolak dari nas sebagai sumber pengetahuan dasar. Episteme ini dikembangkan para ulama tafsir, hadis, dan fikih.

Pendekatan epistemologi bayani ini biasanya banyak digunakan dalam memecahkan masalah-masalah terkait ibadah mahdah (khusus) karena asas hukum syariah tentang ibadah menegaskan bahwa “Ibadah itu pada asasnya tidak dapat dilaksanakan kecuali yang disyariatkan.”

 

Sebagai contoh, kertas tidak mesti terbakar oleh api, air tidak mesti membasahi kain. Terjadinya segala sesuatu di dunia ini karena kekuasaan dan kehendak Allah semata. Begitu juga dengan kasus tidak terbakarnya Nabi Ibrahim ketika dibakar dengan api.

Baca Juga: Pengajian Drs Ahmad Kifni, Kekuasaan Manusia Sifatnya Sementara

Burhani

Epistemologi burhani adalah sistem pengetahuan yang berbasis pada akal (al-‘aql) dan empirisme (al-tajribah). Episteme ini dikembangkan para filsuf dan ilmuwan Islam.

Pendekatan epistemologi burhani ini dimaksudkan untuk memberikan dinamika kepada pemikiran tarjih (pemikiran keislaman) Muhammadiyah, khususnya ibadah ghair mahdlah (ibadah umum).

 

Misalnya, ijtihad mengenai penentuan awal bulan kamariah, khususnya bulan-bulan terkait ibadah, seperti Ramadan, syawal atau Zulhijah. Dalam ijtihad Muhammadiyah untuk masalah ini banyak digunakan capaian-capaian mutakhir ilmu falak, sehingga untuk ini tidak lagi digunakan rukyat.

Irfani

Epistemologi irfani adalah sistem pengetahuan yang bertitik tolak pada al-‘ilm al-hudluri. Episteme ini dikembangkan para sufi, terutama tasawuf falsasfi.

Pendekatan irfani berdasarkan kepada upaya meningkatkan kepekaan nurani dan ketajaman intuisi batin melalui pembersihan jiwa, sehingga suatu keputusan tidak hanya didasarkan kepada kecanggihan otak belaka, tetapi juga didasarkan atas adanya kepekaan nurani untuk menginsafi berbagai masalah dan keputusan yang diambil mengenainya dan mendapatkan petunjuk dari Yang Maha Tinggi.

 

Ketiga epistemologi Islam ini memang secara nampak memiliki basis dan karakter yang berbeda. Pengetahuan bayani didasarkan pada teks, burhani pada rasio, dan irfani pada intuisi.

3. Spirit Melanjutkan Islam yang berkemajuan

Masyarakat Islam sebagai kekuatan masyarakat madani menjunjung tinggi kemajemukan agama dan kesetaraan seluruh elemen kehidupan. Dalam perspektif Muhammadiyah, Islam merupakan agama yang berkemajuan, yang kehadirannya membawa rahmat bagi kehidupan umat manusia.

Islam yang berkemajuan berarti Islam yang memancarkan pencerahan bagi kehidupan, termasuk dalam ranah emansipasi dan humanisasi.

Secara ideologis, Islam yang berkemajuan merupakan aktualisasi dari perluasan pandangan keagamaan melalui dakwah dan tajdid yang bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah, tetapi tetap menerapkan kontak kekinian dan proyeksi masa depan.

Hal ini dilakukan untuk mengembangkan ijtihad di tengah tantangan kompleksitas kehidupan modern abad ke-21 guna menghadirkan Islam sebagai ajaran yang adaptif, responsif dan implementatif terhadap problematika kemanusiaan, serta bisa membawa kemajuan bagi peradaban umat manusia.

Bukti nyata implementasi dari Islam Berkemajuan telah secara bertahap diwujudkan Muhammadiyah dalam berbagai praktik pranata-pranata modern.

Di antaranya melalui amal usaha di berbagai bidang yang unggul seperti pendidikan, sosial, kesehatan, pemberdayaan, ekonomi, dan dakwah komunitas yang membuana di berbagai lapisan masyarakat.

4. Pemimpin yang memperjuangkan Islam

Pemimpin itu “khadim al-ummat”, yakni pelayan rakyat. Pemimpin berfungsi sebagai pengatur, penentu arah, mempengaruhi, menjadi penunjuk, pengayom, dan pemberi contoh.

Pemimpin sebenarnya bukan penguasa, meski di dalamnya terkandung aspek kekuasaan. Kekuasaan hanya bagian dari fungsi kepemimpinan.

Ibarat kepala dari tubuh, pemimpin sangat penting peranannya, sebagai penentu hitam dan putihnya umat atau masyarakat atau bangsa. Sebaliknya jika pemimpinnya tidak berfungsi, maka yang dipimpin pun akan kehilangan arah seperti ayam kehilangan induk.

Refleksi kita di bulan Robiul Awal ini bagaimana kita bisa meneladani kehidupan kanjeng Nabi Muhammad SAW, mudah-mudahan kita bisa menjadi umat islam yang kaffah.

Demikian artikel tentang meneladani Kanjeng Nabi Muhammad SAW secara kaffah, semoga dapat menambah khasanah kita.***

Editor: Dimas D. Pradikta


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah