Menurut Hartono Samidjan, bahasa semarangan atau lebih tepatnya bahasa Jawa dialek semarangan, lebih eksis sebagai bahasa tutur dibanding bahasa tulisan.
"Itu terjadi karena dalam konteks kebudayaan Jawa, Kota Semarang bukanlah pusat kebudayaan," jelasnya.
Meski berstatus sebagai Ibu Kota Provinsi Jawa Tengah, lanjut dia, posisi Kota Semarang dalam kebudayaan Jawa sejak masa lampau selalu menjadi subordinat dari Kasunanan Surakarta (Solo).
Bahkan pada masa kerajaan pun, Semarang hanya berstatus sebagai Kadipaten (Kabupaten).
Baca Juga: Sesaat Gunung Semeru Erupsi, Mencekam Siang Serasa Gelap Gulita Tertutup Wedus Gembel
"Karya sastra dengan bahasa Jawa semarangan, sejauh yang saya ketahui, belum pernah ada. Apalagi kamus bahasa semarangan," tegas Hartono Samidjan.
Namun, lanjut dia, bahasa ini tetap eksis sebagai bahasa tutur dan berkembang secara alami.
Tak ada pakar yang merumuskan kaidah-kaidahnya.
Bahkan pelajaran bahasa Jawa di sekolah pun semua mengacu pada dialek Solo (Surakarta).
"Jika sampai sekarang bahasa semarangan masih ada, itu semata-mata karena merupakan bahasa ibu bagi para penuturnya." (bersambung)***