Terbitkan Novel Berbahasa Banyumasan 'Panginyongan', Ini Kata Penulis Novel Berjudul Kaki Tupon lan Nini Rikem

- 30 Januari 2023, 14:09 WIB
Sumiyati warga Gerduren Purwojati, sang penulis novel 'Kaki Tupon lan Nini Rikem' dengan menggunakan bahasa panginyongan atau bahasa Banyumasan yang juga dikenal dengan bahasa ngapak
Sumiyati warga Gerduren Purwojati, sang penulis novel 'Kaki Tupon lan Nini Rikem' dengan menggunakan bahasa panginyongan atau bahasa Banyumasan yang juga dikenal dengan bahasa ngapak /Prokopim Banyumas


BANJARNEGARAKU.COM - Terbitkan novel berbahasa Banyumasan atau berbahasa panginyongan yang juga dikenal dengan bahasa ngapak, ini kata penulis novel selengkapnya.

Adapun Sumiyati warga Gerduren Purwojati, sang penulis novel 'Kaki Tupon lan Nini Rikem' dengan menggunakan bahasa panginyongan atau bahasa Banyumasan yang juga dikenal dengan bahasa ngapak.

Sumiyati menggunakan nama pena Umi Asmarani, penulis novel berjudul 'Kaki Tupon lan Nini Rikem', ia menuturkan jika novel tersebut ditulis sebagai bentuk melestarikan bahasa daerah agar tidak punah.

Baca Juga: Ini Imbauan Panwaslu Kecamatan Purwareja Klampok kepada PPK Terkait Tahapan Pemutakhiran Daftar Pemilih

“Tujuan saya menulis novel berbahasa Banyumas adalah untuk melestarikan bahasa daerah supaya jangan sampai hilang dan punah,” kata Sumiyati saat menerbitkan novel di Gubug Carablaka di Desa Tinggarjaya, Kecamatan Jatilawang, Kabupaten Banyumas beberapa waktu lalu.

Sebelum menulis novel ini, Sumiyati yang juga pernah menulis novel “Istri Suamiku” dan “Bukan Menantu Idaman” di aplikasi Noveltoon.

Menurutnya cerita tentang “Kaki Tupon lan Nini Rikem” atau dalam bahasa Indonesia berarti Kakek Tupon dan Nenek Rikem telah ditayangkan juga secara daring lewat media sosial Facebook dan para pembaca yang minta untuk dibukukan.

Baca Juga: Apa Itu ASEAN Tourism Forum 2023? Ternyata Akan Digelar di Kota Yogyakarta, Ini Jadwal Selengkapnya

“Novel ini mengisahkan kehidupan keluarga penderes kelapa yang bisa menyekolahkan keempat anaknya hingga perguruan tinggi,” kata Sumiyati.

Menurut Sumiyati, kisah yang diramu dalam novel terbitan Satria Publisher tersebut merupakan kumpulan memori dari masa kecilnya periode 1980-an di mana dirinya lahir dari seorang bapak yang adalah penderes kelapa dan ibunya seorang pembuat gula merah.

“Ini baru jilid satu, nanti akan ada jilid-jilid berikutnya,” ujarnya.

Lewat novel setebal 202 halaman itu, Sumiyati tak hanya menggambarkan penderitaan dari keluarga miskin di perdesaan, tapi juga ingin menyampaikan betapa keras perjuangan orangtua agar dapat menyekolahkan anaknya hingga menjadi orang sukses.

Baca Juga: Ada Perempuan Melahirkan di Pos Pendakian Gunung Slamet, Kok Bisa? Simak Selengkapnya

“Rintangan apapun bisa dilewati sampai nanti anak-anak mereka jadi orang sukses,” tuturnya.

Budayawan Banyumas Ahmad Tohari mengapresiasi terbitnya novel berbahasa panginyongan itu lantaran bahasa daerah kini terancam punah dan perlu terus dilestarikan.

“Bahasa daerah adalah puncak dari kebudayaan daerah. Puncak kebudayaan daerah itu bukan lengger, bukan ebeg (kuda lumping), tapi bahasa itu sendiri yang menjadi utama.

Kesenian tradisional seperti lengger dan ebeg itu ada parikan (puisi rakyat) menggunakan bahasa banyumas,” papar Tohari yang juga penulis novel “Ronggeng Dukuh Paruk”.

Baca Juga: Masih Dibuka! Ini Syarat dan Dokumen yang Perlu Disiapkan untuk Daftar jadi Petugas Pantarlih Pemilu 2024

Menurut Tohari, untuk memajukan suatu bangsa, dibutuhkan gerakan literasi yang masif.

Lewat membaca dan menulis, seseorang dituntut untuk kreatif sekaligus peka terhadap kearifan juga kegelisahan yang ada di sekitarnya.

Selain itu, lewat membaca dan menulis, menurut Tohari yang mengutip peribahasa Latin “Scritpo ergo sum” atau aku menulis, maka aku ada, seseorang tidak akan lenyap ditelan zaman.***

Editor: Dimas D. Pradikta


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x