Lakon Wayang Petruk Dadi Ratu: Bentuk Kritik kepada Penguasa yang Gila Hormat, Kedudukan, Jabatan, dan Harta

19 Maret 2024, 05:00 WIB
Petruk salah satu tokoh Punakawan yang dijuluki Kantong Bolong karena sifat dermawannya. /Thumbnail YouTube ADEKA MULTIMEDIA

BANJARNEGARAKU - Lakon wayang Petruk Dadi Ratu atau Petruk Jadi Raja yang dikarang Tjan Tjoe Han adalah bentuk kritik kepada penguasa yang gila hormat, keududkan, jabatan, dan harta benda.

Tjan Tjoe Han, warga Coyudan Solo Jawa Tengah memiliki darah Tionghoa. Warga keturunan etnis Cina ini mengarang cerita atau lakon wayang Petruk Dadi Ratu atau Petruk Jadi Raja karena melihat fenomena zaman waktu itu.

Lakon wayang Petruk Dadi Ratu atau Petruk Jadi Raja itu dikarang pada tahun 1932 atau saat Nusantara masih di bawah kekuasaan kolonialis Hindia Belanda. Waktu itu banyak para raja atau penguasa pribumi di Nusantara rela menjadi "abdi" penjajah Belanda, dengan hadiah pangkat, kedudukan, jabatan, dan harta benda yang berlimpah.

Sementara rakyat yang dipimpinnya hidup di bawah garis kemiskinan dengan banyaknya upeti dan pajak yang sangat membebani kehidupan mereka. Sehingga kehidupan rakyat sebagaimana carangan (karangan) lakon wayang Petruk Dadi Ratu atau Petruk Jadi Raja sangat menderita di bawah tekanan "para penguasa" yang menjadi boneka Kolonialis Belanda.

Dilansir dari tulisan Tjahjono Widarmanto (seorang esais dan sastrawan, bukunya, yaitu Percakapan Tan dan Riwayat Kuldi Para Pemuja Sajak menerima Anugerah buku puisi terbaik Tingkat Nasional 2016, bukunya Perbincangan Terakhir dengan Tuan Guru (2018) dan Kitab Ibu dan Kisah Hujan (2019) menjadi buku terpuji versi HPI 2018 dan 2019), cerita wayang Petruk Dadi Ratu atau Petruk Jadi Raja merupakan salah satu lakon wayang yang populer dan digemari masyarakat Jawa.

Cerita Petruk Dadi Ratu atau Petruk Jadi Raja merupakan cerita carangan yang tidak ada dalam babon atau kitab induk cerita wayang Mahabarata maupun Ramayana yang selama ini dianggap sebagai naskah rujukan pertunjukkan wayang di Indonesia.

Di sebuah manuskrip yang tersimpan rapi di Reksa Pustaka Mangkunegara, Surakarta (Sukadi, 2006), dapat telisik asal-usul dan siapa pengarang cerita carangan Petruk Dadi Ratu atau Petruk Jadi Raja.

Pada manuskrip tersebut terdapat pupuh dandanggula yang pada awal baris pupuh tersebut terdapat sandiasma berbunyi Can Cu Han Cayudan Surakarta:

Cancaleng tyas sumedya mrih manis

Cumanthaka angiket gitaya

Hancake driya ge-age

Caranya durung weruh

Yutun tan win ingkang ngesemi

Dandanana budi tama

Surya tembang tembung

Rasanendriya sumeda

Karya tepa palupi mrih irip-irip

Talirpra sujana

Sandiasma tersebut menerangkan nama seorang etnis Cina bernama Tjan Tjoe Han yang berasal dari Cayudan, Surakarta (Solo). Tjan Tjoe Han inilah yang mengarang cerita carangan Petruk Dadi Ratu yang ditulis pada tahun 1932 Masehi.

Naskah ini menceritakan tokoh Petruk, seorang rakyat jelata atau pidak pendarakan yang menjadi punakawan atau abdi pelayan yang tiba-tiba menjadi raja di sebuah negara bernama Negara Mulwarengka.

Ketika menjadi raja, ia bergelar Prabu Belgedhuwel Beh. Nama gelar tersebut adalah akronim dari sugih Blegedhu Rakyate Dhedel Dhuwel Kabeh (raja yang kaya raya tapi rakyatnya compang camping atau sengsara dan miskin papa)

Pada mulanya Petruk adalah seorang punakawan, abdi yang suka memberi nasihat, suka berunjuk rasa, suka protes, suka berdebat, suka mengkritik dengan argumentasi muluk-muluk, dan suka menggerakan massa.

Namun, saat ia diberi kekuasaan ternyata hanya memikirkan dirinya sendiri, mementingkan kepentingan pribadinya sendiri dengan menumpuk kekayaan, dan melakukan korupsi besar-besaran.

Sedangkan rakyatnya dibiarkan keleleran, kelaparan, dalam perangkap kemiskinan. Terjadilah kesenjangan sosial yang terbentang lebar antara pejabat dan rakyat. Raja dan pejabat negara yang korup hidup bergelimangan harta sedangkan rakyatnya miskin papa dan sengsara.

Sama dengan Ranggawarsita, melalui karyanya Petruk dadi Ratu, Tjan Tjoe Han menunujukkan sebuah fenomena sosial yang sampai sekarang boleh jadi tetap hadir di sekeliling kita.

Dari naskah itu pula dapat kita lihat sebuah trik politik yang mengatasnamakan rakyat sehingga dapat meraih kekuasaan namun justru melupakan rakyatnya.

Penggambaran ini merupakan potret yang nyata dalam jagat perpolitikan kita. Lihat saja, para penguasa, baik itu birokrasi maupun legislatif, saat mengampayekan dirinya acap kali mengatasnamakan rakyat bahkan menjadikan rakyat sebagai isu sentral politiknya.

Namun saat telah berhasil merebut dan menggenggam kekuasaan ia segera melupakan rakyat, bahkan menggerogoti rakyatnya dengan rakus.

Cerita wayang Petruk Dadi Ratu atau Petruk Jadi Raja sesungguhnya sebuah kritik terhadap perilaku dan mentalitas para pemimpin yang lupa diri akan asal muasal diri dan kewajibannya sebagai pemimpin.

Cerita ini sesungguhnya menjadi kritik dan oto kritik yang selalu relevan dalam tiap zaman sekaligus mengingatkan bahwa kita harus selalu mawas diri sekaligus tidak mengkhianati jati diri dan asal muasal.

Yang paling penting adalah semoga kita tidak menjadi salah satu dari petruk-petruk itu atau kita salah memilih Petruk dalam pemilihan umum yang digelar di tengah-tengah pagebluk ini.

Demikianlah artikel mengenai cerita wayang atau lakon wayang Petruk Dadi Ratu atau Petruk Jadi Raja sebagai sebuah bentuk kritik kepada penguasa yang gila hormat, gila kedudukan, dan gila jabatan. Semoga bermanfaat.***

Editor: Ali A

Sumber: Tjahjono Widarmanto Sukadi, 2006

Tags

Terkini

Terpopuler