Petani lainnya, Suhadi, juga masih menggunakan cara konvensional, ia telah memasang benda yang bisa menimbulkan bunyi- bunyian.
Kaleng disusun secara paralel menggunakan tali plastik dibentangkan ke lahan sawah, membawa bendera putih sambil dikibas-kibaskan.
Memasang kertas warna warni, memasang orang-orangan sawah atau memedi, hingga melempari burung menggunakan tanah atau batu kerikil.
Namun, sejumlah alat tradisional ini memiliki kelemahan, dimana petani harus menarik alat itu terus menerus. Saat petani tidak pergi ke sawah, tidak ada yang menjalankan alatnya.
Seperti menggeser Othok othok sesuai arah angin, maupun menarik tali plastik yang dibentangkan ke sawah.
Belum lagi, kelelahan karena berkeliling areal sawah sambil berteriak-teriak sebab burung tersebut terkadang hanya berpindah tempat saat diusir dan tetap dikejar lagi oleh petani, sehingga petani harus bekerja keras.
Usaha para petani belum mencapai hasil maksimal. Untuk itu, pihaknya berharap kepada segenap dinas terkait termasuk para penyuluh pertanian agar dapat mencarikan solusi dalam menangani serangan hama burung tersebut.
Kalau hama burung tidak diusir, maka hasil panen tidak akan sebanding dengan luasan areal lahan pertanian yang ditanami padi.
“Serangan kawanan burung juga pernah terjadi sekitar tiga tahun yang lalu, bahkan lebih meluas. Akibatnya, petani was-was bila menanam padi lebih awal dan tidak serempak. Mudah-mudahan pada musim tanam tahun ini tidak terulang,” pungkasnya.***