Perbuatan zina yang pelakunya sudah terikat pernikahan atau sudah memiliki pasangan sah (fornication) dalam hukum Islam disebut zina muhson, sementara untuk yang pelakunya masih lajang atau tidak terikat pernikahan (adultery) dalam hukum Islam digunakan istilah zina ghoiru muhson.
b.KUHP menetapkan bahwa delik perzinaan termasuk ke dalam salah satu delik aduan (Klacht delicten). Artinya meskipun telah terjadi perzinaan sebagaimana pengertian rumusan Pasal 411 KUHP Baru, pelakunya tidak dapat dituntut pidana apabila tidak ada pengaduan dari pihak suami atau istri yang dirugikan bagi pelaku yang sudah terikat perkawinan (fornication) dan dari orang tua atau anaknya bagi pelaku yang tidak terikat perkawinan (adultery). Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan di sidang pengadilan belum dimulai.
Dari rumusan pasal di atas, kata Eman Sulaeman, KUHP baru disatu sisi memang telah mengakomodasi aspirasi umat Islam dan nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, dimana bukan saja telah memidana perzinaan fornication (zina muhshan) tapi juga memidana adultery (ghoiru muhshan).
Dengan rumusan baru ini diharapkan dapat mengeliminasi kebebasan seksual di kalangan remaja, yang dampak sosial dan psikologinya sangat berat. (bersambung)***