"Media ruang akan ditinggalkan oleh hampir semua peserta Pemilu meski pun secara verbal yang diakui di dalam Pemilu kita itu adalah yang media ruang," kata Ray.
"Media ruang itu biayanya besar, efeknya tidak terlalu banyak kepada masyarakat, tidak membangun emosi caleg dan para penyidik," katanya.
Ray menerangkan, transisi kampanye ke media siber akan dipilih karena tidak memerlukan biaya yang besar, daya jangkau luar biasa, data tahan lebih lama bahkan hingga tahun 2024.
Baca Juga: 306 Pedagang Segera Tempati Kembali PCF, Berikut Keterangan Resmi Dinperindag Purbalingga
Apalagi, kampanye di media siber tidak membutuhkan narasi yang panjang dan memiliki kecendrungan kritisme yang mendahului.
"Jadi orang hanya baca yang hebohnya saja, soal benar atau tidak orang tidak baca," katanya.
Kendati begitu, Ray menyoroti masalah yang mungkin bisa terjadi dalam kampanye media siber. Menurutnya, kampanye di medsos memiliki kecenderungan negatif, hoaks, dan politik identitas.
"Tantangan yang terberatnya itu hoaks dan politik identitas. Kalau negatif campaign itubagus bagus saja, itu tradisi yang harus kita tumbuhkan cuman sekarang ini ada pengaburan terhadap definisi negatif campaign menjadi hoks dan politik identitas, bahkan turun ke black campaign, itu sesuatu yang salah," ujarnya.
Baca Juga: 16 Produk Perusahaan Farmasi Keluarkan Peryataan Resmi Bebas dari EG dan DEG, Cek Merknya
Oleh karena itu, Ray berharap, Bawaslu Jabar yang menjadi garda terdepan bisa menjadi mata semua publik dalam konteks mensubtansi isi kampanye.