Menelusuri Sejarah Penulisan Serat Chentini

15 Agustus 2023, 19:06 WIB
Kanjeng Pangeran Panji (KPP). Edwin Soeryo Putrakusumo bersama istri KRAy. Tiara Soeryo Putrakusumo /Taufik Hidayat PP/

BANJARNEGARAKU.COM - Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang banyak memiliki beragam budaya dan adat-istiadat. Hal tersebut dibuktikan dengan banyak ditemukannya manuskrip-manuskrip diperkirakan sudah berumur ratusan tahun. Salah satunya adalah Serat Centhini. 

Naskah Serat Centhini saat ini menjadi koleksi Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) D.I Yogyakarta dan telah diterjemahkan atau dilatinkan pada tahun 1976. Baru pada tahun 1986-1989 melalui Yayasan Centhini, Kamajaya (R. Karkono), menerbitkan hasil pelatinan naskah Serat Centhini tersebut.

Baca Juga: Mengenal Seksiologi Hingga Banyak Tradisi dalam Serat Centhini

Serat Centhini merupakan mahakarya adiluhung Adipati Anom Amangkunagara III Karaton Surakarta Hadiningrat, kelak bergelar Sahandhap Sampeyandalem Ingkang Sinuhun Kangdjeng Susuhunan Paku Buwono Senapati ing Alaga Abdurrahman Sayyidin Panatagama Ingkang Jumeneng Kaping V (Sri Susuhunan Paku Buwono V), yang jumenengnata (bertahta) pada tahun 1820-1823, sebagaimana disampaikan oleh salah satu keturunan Sri Susuhunan Paku Buwono V yang merupakan Pangeran Santana Karaton Surakarta Hadiningrat, Kanjeng Pangeran Panji (KPP). Edwin Soeryo Putrakusumo.

Pangeran Edwin Soeryo Putrakusumo menjelaskan, dalam penulisan Serat Centhini, Sri Susuhunan Paku Buwono V berperan sebagai Ketua Tim, dan didalam tim penulisan ini terdapat para pujangga Karaton Surakata Hadiningrat, seperti: Raden Ngabehi (R.Ng). Ranggasusastra, Raden Ngabehi (R.Ng). Yasadipura II atau Raden Tumenggung (R.T). Sastranagoro, dan Raden Ngabehi (R.Ng). Sastradipura.

Baca Juga: Pawai Budaya Bakal Digelar Kembali Meriahkan HUT ke 78 RI

Raden Ngabehi (R.Ng). Ranggasusastra, merupakan ahli bahasa dan Sastra Jawa, diberikan tugas untuk mendengarkan, melihat, menyelidiki segala sesuatu yang dijumpai dan kemudian mencatatnya yakni menjelajah Pulau Jawa bagian timur, dari Surakarta menuju Jawa Tengah bagian utara hingga Banyuwangi, dan kembali melalui Jawa Timur bagian selatan.

Adapun Raden Ngabehi (R.Ng). Yasadipura II atau Raden Tumenggung (R.T). Sastranagoro, yang merupakan putera Raden Ngabehi (R.Ng). Yasadipura I, ditugaskan untuk menjelajah Pulau Jawa bagian barat, berangkat dari Surakarta melewati Jawa Tengah bagian utara menuju Anyer, dan kembalinya melalui Jawa Barat bagian selatan. 

Sedangkan Raden Ngabehi (R.Ng). Sastradipura, merupakan ahli Bahasa Arab dan Ilmu Agama Islam. Beliau ditugaskan untuk naik haji dan memperdalam Agama Islam di Mekah. Setelah kembali dari Mekah Raden Ngabehi (R.Ng). Sastradipura alih asma (berganti nama) menjadi Kyai Haji Muhammad Ilhar.

Baca Juga: Parah! Polusi Udara di Jakarta Berdampak pada Orang Nomor Satu di Indonesia

Setelah ketiganya selesai menjelajah, mereka bertiga menghadap Putera Mahkota Karaton Surakarta Hadiningrat, Adipati Anom Amangkunagara III (Sri Susuhunan Paku Buwono V). Selanjutnya, Putera Mahkota kemudian memulai penulisan Serat Centhini dengan dibantu banyak narasumber sesuai dengan topiknya. 

Putera Mahkota sebagai ketua tim penulisan Serat Centhini menginginkan dalam penyampaian dongeng, kejadian dan nasihat menarik, harus diselingi dengan cerita asmara hangat supaya pembaca terkesan. Seperti pada cerita-cerita asmara hangat yang bernafaskan seksualitas (kamasutra jawa) yakni terdapat pada jilid V – IX, konon ditulis sendiri oleh ketua tim, Adipati Anom Amangkunagara III, tambah Kanjeng Raden Ayu (KRAy) Tiara Soeryo Putrakusumo istri dari Pangeran Edwin Soeryo Putrakusumo. ***

Editor: Ali A

Sumber: Liputan

Tags

Terkini

Terpopuler