2. Bahwa Alexander Marwata (selanjutnya disebut Terlapor), pada tanggal 26 Juli 2023 dalam jumpa pers telah mengumumkan ke publik dan menyatakan bahwa Marsekal Madya Henri Alfiandi ditetapkan sebagai tersangka tindak pidana korupsi penerima suap pada proyek pengadaan barang dan jasa di Basarnas dengan nilai sekitar Rp1 Miliar.
"Hal mana kemudian diprotes oleh Pusat Polisi Militer, dengan alasan bahwa kewenangan menetapkan tersangka yang berasal dari anggota TNI yang masih aktif adalah merupakan kewenangan Puspom TNI," kata Boyamin.
3. Bahwa ternyata di kemudian hari, diketahui KPK tidak pernah menerbitkan Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) atas nama Marsekal Madya Henri Alfiandi sebagai dasar penetapan status tersangka.
Surat Perintah Penyidikan sebagai dasar diterbitkan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan ( SPDP ) yang berdasar putusan Mahkamah Konstitusi harus diberikan kepada Jaksa Penuntut Umum dan Tersangka jangka waktu maksimal 7 hari sejak terbit Sprindik.
"Hal ini menimbulkan konsekuensi hukum penetapan tersangka oleh KPK sebagaimana dinyatakan oleh Terlapor ( Alek Marwata ) terhadap Henri Alfiandi ( Kepala Basarnas ) adalah tidak sah karena tidak didasari adanya Sprindik."
4. Bahwa Pimpinan KPK seharusnya melakukan koordinasi dengan Puspom TNI untuk membentuk Tim Penyidik Koneksitas sebelum menetapkan dan mengumunkan Tersangka Henri Alfiandi.
"Dengan belum terbentuknya Tim Penyidik Koneksitas namun Alek Marwata melakukan pengumuman penetapan tersangka adalah diduga melanggar wewenang selaku pimpinan KPK," jelasnya.
5. Bahwa Pimpinan KPK ikut tanggung renteng kolektif kolegial atas dugaan pelanggaran kode etik Alek Marwata dalam melakukan penetapan tersangka Henri Alfiandi secara tidak sah.